Sabtu, 22 September 2012

NUSYUS DAN SIQAQ


                                                    PEMBAHASAN NUSYUS
     Nusyus
1.    Pengertian
    Arti kata nusyus ialah membangkang. Yang dimaksud ialah membangkang terhadap kewajiban-kewajiban dalam hidup perkawinan. Arti kata syiqaq ialah retak. Yang dimaksud adalah retak hubungan perkawinan, tidak ada persesuaian antara suami dan istri sehingga dikhawatirkan terjadi perceraian.1
Beberapa pengertian nusyus diantaranya menurut fukaha hanafiah seperti yang dikemukakan ganim mendefinisikan dengan ketidaksenangan yang terjadi diantara suami dan istri. Ulama madzab maliki berpendapat bahwa nusyus adalah saling menganiyaya suami istri, Ibnu masnur mendefinisikan nusyus sebagai rasa kebencian terhadap istri ataupun sebaliknya.
Menurut Hamid ( 1977 : 250 ) nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditafsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami. Tentu saja kehendak suami yang tidak bertentangan dengan hukum agama. Apabila kehendak suami bertentangan atau tidak dapat dibenarkan oleh agama, maka istri berhak menolaknya. Dan penolakan tersebut bukanlah sifat nusyuz ( durhaka ).
Sementara menurut Rasyid ( 1994: 398 ) nusyuz adalah apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’
Membangkang terhadap kewajiban-kewajiban dalam hidup perkawinan dapat terjadi pada pihak istri dan dapat pula terjadi pada pihak suami.
Nusyus berawal dari salah satu pihak, baik dari istri maupun dari suami, bukan dari kedua-duanya secara bersama-sama, karena hal tersebut bukan lagi merupakan nusyus melainkan syiqaq2
Nusyus pada pihak istri terjadi apabila ia melalaikan kewajiban-kewjibannya sebagai istri, tidak mau taat kepada suami, tidak mau bertempat tinggal bersama suami, suka menerima tamu-tamu orang yang tidak disukai suami, suka keluar rumah tanpa ijin suami, dan sebagainya.
Sebagaimana telah disebutkan dimuka, apabila suami melihat istrinya melalaikan kewajiban-kewajibannya sebagai istri, hendaklah mula-mula ia memberi nasihat dengan baik-baik. Apabila dengan nasihat itu masih juga tidak mengalami perubahan, suami hendaklah berpisah tidur dari istrinya. Apabila hal inipun masih belum berhasil membawakan perubahan sikap istri, suami dibenarkan memukul, bukan pada bagian muka, dan tidak mengakibatkan luka pada bagian istri. Apabila dengan jalan memukul pun belum dapat membawakan perubahan pada sikap istri, sampailah hubungan suami istri pada taraf syiqaq.
Nusyus terjadi pada pihak istri, setelah diusahakan untuk baik kembali dengan jalan nasihat, berpisah tidur dan memukul tetapi tidak berhasil juga itu, berakibat gugurnya kewajiban nafkah atas suami terhadap istrinya. Dalam hal suami beristri lebih seorang, terhadap istri yang dinusyus, kecuali tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Namun masih wajib memberika tempat tinggal.
Apabila nusyus terjadi pada pihak suami, dan ia idak mau memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri, hendaklah diberi nasihat-nasihat secukupnya agar kembali menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila kekhawatiran nusyus suami itu datangnya dari istri, karena misalnya suami tidak senang lagi terhadap istrinya yang makin tua, karena sakit yang tidak kunjung sembuh, karena muka yang makin berkerut dan sebagainya, QS an-Nisa:128 mengajarkan, “apabila seorang istri khawatir suami akan nusyus atau akan meninggalkannya, tidak ada halangannya suami istri mengadakan perdamaian; perdamaian adalah lebih baik (daripada perceraian).
Isi perdamaian yang dimaksud dalam ayat alqur’an dapat diterangkan dengan peristiwa yang mendahului turunnya ayat tersebut, sebagaiman diriwayatkan Bukhari dari Aisyah, yaitu ada istri seseorang yang tidak lagi memennuhi hasrat suaminya sehingga suaminya tampak ingin menceraikannya, kemudian ingin kawin lagi dengan perempuan lain. Melihat hal demikian itu, istri kemudian mengatakan kepada suaminya, “ Tahanlah aku, janga engkau ceraikan, kawinlah dengan perempuan lain, kubebaskan engkau dari kewajiban memberikan nafkah dan menggilir aku.” Dalam hadis tersebut terlihat adanya bentuk perdamaian yang amat jelas, yaitu istri tersebut melepaskan haknya untuk menerima nafkah dan giliran dari suaminya, asal tidak dicerai. Perdamaian seperti ini dinyatakan dalam alqur’an lebih baik daripada perceraian.3

2.    Bentuk-bentuk Nusyus
     Perbuatan yang dianggap nusyus istri :

1.    Apabila istri menolak untuk pindah kerumah kediaman bersama, tanpa sebab. (tempat tinggal yang layak bagi dirinya.)
2.    Ababila istri keluar tempat tinggal bersama tanpa seizin suami, kecuali karena
kebutuhan suami (pendapat madzab syafii dan hambali)
3.     Apabila istri menolak ditiduri suami tanpa sebab yang jelas.
4.    Apabila istri menolak hidup dalam satu rumah dengan suami dan dia lebih suka hidup ditempat lain dan tidak bersama suami.
5.    Apabila keduanya tinggal dirumah istriatas seizin istri, kemudian pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk kerumah itu dan bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan suami.
6.    Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahromnya walaupun perjalanan itu wajib seperti haji, karena paerjalanan perempuan  tidak dengan suami atau mahromya termasuk ma’siat4

     Perbuatan yang dianggap nusyus suami :

1.    Mendiamkan istri, tidak diajak bicara, berbicara dengan kata-kata yang kasar dan menyakitkan
2.    Mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya.
3.    Berburuk sangka terhadap istri, dan tidak mengajak istri tidur bersama.
4.    Menyuruh istri melakukan ma’siat
5.    Tidak menggauli istrinya tanpa uzur atau sebab-sebab yang jelas
6.    Menganiaya istri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan hendak mencelakakan istri.
7.    Tidak memberikan nafkah sandang, pangan, dan lain-lain.
8.    Menjauhi istri karena penyakit yang dideritanya.5

3.     Cara Mengatasi Nusyuz

Firman allah Swt dalam Q.s An-Nissa : 34

وَالاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَتَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya:
“wanita-wanita yang khawatirkan kedurhakaanya (nusyuz), maka Nasihatilah mereka, dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka danpukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membahayakan). Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk memisahkan mereka. Sesungguhnya Allah Swt Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang durhaka yaitu :
a. Suami berhak memberi nasihat kepada istrinya bila tanda-tanda kedurhakaan istri sudah tampak.
b. Sesudah nyata durhakanya,suami berhak berpisah tidur dari istrinya.
c. Sesudah dua pelajaran tersebut ( nasihat dan berpisah tidur ), kalau istri masih terus juga durhaka, suami berhak memukulnya.(tidak sampai melukai badan dan tidak boleh memukul bagian muka)6
Akibat kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri yaitu menerima uang belanja, pakaian dan pembagian waktu.berarti dengan adanya durhaka istri., maka ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami dan istri tidak berhak menuntut.
Firman allah Swt dalam Q.s Al-Baqarah : 228

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya :
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban (terhadap suaminya) menurut cara yang ma’ruf.”
Menurut Hakim dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam (2000 : 108) cara untuk mengatasi nusyuz adalah dengan mengadakan perundingan antara suami istri untuk membereskan serta menghilangkan kesalahpahaman dan memecahkan masalah tersebut bersama. Usaha ini menurut islam disebut dengan istilah ishlah, yaitu upaya perdamaian yang diusahakan oleh kedua belah pihak. Upaya ishlah ini divisualkan dalam bentuk musyawarah. Dengan musyawarah serta keinginan yang baik, maka tidak ada masalah yang sulit yang tidak dapat dipecahkan.
Al-quran memperingatkan wanita untuk berbuat sesuatu manakala terjadi ketidakberesan, ketidakserasian, atau miskomunikasi antara istri dan suaminya. Jadi, wanita dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi kemelut dalam keluarga, mengajak suaminya untuk merundingkan problema yang menjadi ganjalan diantara mereka, dalam upaya memperbaiki hubungan mereka, seperti dijelaskan dalam al-quran surat An-nisa : 128

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ
أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ
Artinya :
“Apabila wanita ( istri-istri ) terjadi pembangkangan ( nusyuz ) dan pertentangan ( sikap
acuh tak acuh ) dengan suaminya. Maka tidaklah mengapa bagi keduanya untuk
mengadakan perdamaian, dan perdamaian adalah sesuatu yang baik”.
Apabila salah satu pihak benci terhadap yang lain, hendaklah jangan mengharapkan atau melihat kesalahan sedikit pun diantara mereka. Padahal bisa saja satu atau dua hari saja sudah hilang kesalahannya bahkan mungkin hanya beberapa saat saja. Selanjutnya, yang timbul justru suatu sebaliknya, yaitu kerinduan. Oleh karena itu, masalah didalam rumah tangga janganlah terlalu dianggap serius, anggap saja sebagai bumbu perkawinan. Dalam hal ini Al-quran Q.s An-nisa 19, memberi peringatan yaitu:

فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Artinya :
“Apabila kamu tidak senang kepada istri, maka boleh jadi apa yang kamu tidak senang tadi
justru Allah SWT membuat kebaikan yang banyak”.

4.    Nusyuz dalam Wacana Hukum dan Sosial

Banyak kalangan berpendapat, KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang materi prinsipilnya banyak dirujuk dari ketentuan-ketentuan hukum dalam KHI mengandung banyak kelemahan bagi perempuan dan masih memancarkan semangat patriarkhi karena perempuan diposisikan sebagai subordinat di bawah kekuasaan lelaki. Pasal 84 KHI tentang nusyuz, misalnya, mencerminkan ketidakadilan terhadap perempuan. Nusyuz dan hukumannya hanya berlaku untuk istri yang dianggap tidak memenuhi kewajiban. Sebaliknya, suami yang tidak memenuhi kewajiban tidak dikenakan sanksi nusyuz.
Sementara itu, dalam RUU terapan misalnya, di dalam bab mengenai Hak dan Kewajiban Suami-istri, Pasal 72 Ayat 4, disebutkan, antara lain, kewajiban suami adalah membimbing istri dan rumah tangga, tetapi mengenai urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan bersama oleh suami-istri secara bersama-sama. Suami dengan penghasilannya menanggung nafkah, kiswah, dan tempat kediaman istri, membiayai rumah tangga dan membiayai perawatan dan pengobatan bagi istri dan anak, serta biaya pendidikan.
Meskipun demikian, tidak ada ”sanksi” bila suami tidak bisa memenuhi kewajibannya itu karena pada pasal selanjutnya, yaitu pasal 72 Ayat (6) disebutkan bahwa ”Apabila suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud Ayat (4), istri dengan kerelaannya dapat membebaskan suami dari kewajiban tersebut.” Selanjutnya Ayat (7) menyebutkan, ”Kewajiban suami sebagaimana dimaksud Ayat (5) gugur bila istri nusyuz.” Nusyuz sendiri dalam arti umum berarti membangkang.7
Bandingkan dengan pasal yang menyebutkan kewajiban istri di dalam Pasal 76. Istri dapat dianggap nusyuz bila tidak melaksanakan kewajibannya kecuali dengan alasan sah. Yang termasuk kewajiban istri seperti diatur dalam Pasal 75 adalah ”Berbakti lahir-batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum Islam” serta ”istri wajib menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya”. Selanjutnya Pasal 76 Ayat (2) menyebutkan, ”Nusyuz-nya istri menggugurkan kewajiban suami terhadap istri sepanjang tidak berkaitan dengan kepentingan anak.”
Ayat (3) pasal yang sama juga menyebutkan, ”Kewajiban suami pada Ayat (2) berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.” Sedangkan yang menentukan ada-tidaknya nusyuz pada istri harus didasarkan atas bukti yang sah dan ditetapkan oleh pengadilan. Dengan demikian, bila sua-mi tidak mampu memenuhi kewajibannya mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya di dalam rumah tangga, istri dianjurkan membebaskan suami dari kewajiban itu dengan kerelaan, sementara bila istri ”membangkang” terhadap suami maka kewajiban suami langsung gugur, Jika ditelusuri ke akar pemikirannya, kecenderungan UU dan ketentuan-ketentuan yang ada sebetulnya lebih dilatarbelakangi oleh tradisi patriarkhi yang sangat kuat dan mengakar di Indonesia.
BAB III
PEMBAHASAN SYIQAQ
     Syiqaq

1.    Pengertian
Syiqaq merupakan tahap perselisihan suami istri setelah nusyus yang dikhawatirkan akan diikuti dengan terjadinya perceraian. Apabila terjadi syiqaq  antara suami dan istri, QS an-Nisa: 35 mengajarkan, “ Apabila kamu khawatir terjadi keretakan antara suami dan istri, hendaklah kamu angkat hakam (wasit) dari keluarga suami dan hakam dari keluarga istri. Apabila para hakam mengusahakan baiknya hubungan suami istri, Allah pasti akan mempertemukan para hakam maupun suami istri bersangkutan,” Dalam ayat ini kita jumpai hanya satu  alternatif, yaitu usaha ishlah oleh para hakam. Hal ini memberikan ketentuan bahwa para hakam supaya dengan sekuat tenaga berusaha mempertemukan kembali suami dan istri. Hanya dalam keadaan yang menang telah memaksa, barulah para hakam mengambil alternatif lain, yaitu menceraikan antara suami dan istri.
Kewajiban para hakam adalah berbuat apasaja untuk kemaslahatan dua suami istri, antaralain, mendamaikan dan mengajak merekakembali kepada ikatan perkawinan yang harmonis. Dan kalau tidak  mungkin tercapai perdamaian diantara suami istri, mereka berhak pula mengahiri kehidupan perkawinan itu.8
Syiqaq dapat terjadi disebabkan oleh dua belah pihak suami dan istri, dapat pula terjadi disebabkan oleh salah satu, suami atau istri. Syiqaq yang terjadi disebabkan oleh dua belah pihak, suami dan istri, misalnya karena adanya perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan; masing-masing bertahan pada wataknya, sama-sama tidak mau sehingga kehidupan rumah tangga penuh dengan ketegangan-ketegangan yang tidak kunjung reda. Syiqaq disebabkan oleh suami, misalnya perlakuan suami yang amat sewenang-wenang terhadap istri, sehingga amat berat bagi istri untuk dapat bertahan sebagai istri. Syiqaq yang terjadi pada pihak istri, misalnya sikap nusyus yang tidak dapat ditundukkan suami dengan jalan nertahap; nasihat, pisah tempat tidur, dan pukulan yang menjadi hak suami memberi pelajran terhadap istrinya.
Dalam hal syiqaq benar-benar tidak dapat diatasi sehingga menurut pertimbangan para hakam lebih maslahat apabila diceraikan saja antara suami dan istri yang bersangkutan,  dalam menceraikan keduanya itu, dapat diajukan pertanyaan apakah hakam berkedudukan sebagai wakil suami istri atau mempunyai kuasa penuh untuk menentukan keputusan. Dalam hal para hakam berkedudukan sebagai wakil suami istri bersangkutan, mereka hanya dapat bertindak apabila mendapatkam persetujuan suami istri yang mewakilinya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah, Syafii dalam salah satu riwayat yang kuat dan Ahmad dalam salah stu riwayat yang palinh masyhur. Hasan basri, Atha, Qatadah, Zaid, Abu Tsaur, ulama-ulama Dhahiri, Syiah Ja’fariyah, dan Syiah Zaidiah juga berpendapat demikian.
Pendapat tersebut beralasan bahwa suami istri adalah orang-orang yang telah dewasa karenanya hakam tidak mempunyai kekuasaan terhadap mereka. Hakam hanya bertugas untuk berusaha mengadakan perbaikan hubungan perkawinan suami istri. Tanpa mendapat kuasa dari suami istri yang bersangkutan, hakam tidak dapat mengambil keputusan untuk menceraikan suami istri. Dalam hal hakam tidak mendapat kuasa dari suami istri, padahal untuk mengadakan ishlah tidak berhasil, persoalannya kembali kepada  pengadilan, dan pengadilanlah yang kenudian mengambil keputusan setelah mendengar keterangan dari pendapat hakam.
Pendapat lain mengatakan bahwa hakam mempunyai wewenang penuh untuk mengambil keputusan, apakah seharusnya perkawinan dilangsukan atau lebih maslahat diputuskan. Dalam hal hakam mengambil keputusan untuk itu dinyatakan sah, pengadilan tinggal menguatkan saja. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Abu Salamah, Sya’bi, dan Nakh’i. Imam Malik, Auza’i, dan Ishak juga berpendapat lain. Ulama-ulama Madinah berpendapat demikian pula.
Pendapat ini mengemukakan bahwa hakam sebagaimana dinyatak dalam Alqur’an itu jelas bukan wakil suami istri sebab yang diperintahkan mengangkat hakam bukan suami istri yang bersangkutan, tetapi ulul amri, dalam hal ini adalah pengadilan. Oleh karenanya, kekuasaan hakam untuk mengambilkan keputusan untuk melangsungkan perkawinan atau menceraikan antara suami dan istri telah memperoleh kekuatan dari ulul amri. Khalifah Utsman pernah mengangkat Ibnu Abbas dan Muawiyah untuk bertindak  sebagai hakam  antara Uqbal bin Abi Thalib dan istrinya Fatimah binti Atabah dengan memberikan kekuasaan penuh, apabila mereka mempertimbangkan yang lebih maslahat adalah menceraikan antara suami dan istri, hendaklah mereka menceraikan. Khalifah Ali juga pernah melakukan hal yang sama, memberi kekuasaan penuh kepada para hakam yang diangkatnya untuk mengambil keputusan mana yang lebih maslahat; melangsungkan hubungan perkawinan atau menghentikannya.
Menurut hemat kami pendapat kedua ini lebih memberikan tanggung jawab kepada para hakim agar benar-benar bekerja dan mempertimbangkan maslahat yang tengah dhadapi sehingga dalam mengambil keputusan terakhir benar-benar dengan pertimbangan yang masak, ditinjau dari segala segi kemungkinan-kemungkinan secara menyeluruh. Apa yang telah diputuskan oleh para hakam tinggal dikuatkan oleh pengadilan. Dengan demikian, perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, apabila sebaiknya berakhir dengan perceraian, akan segera dapat menyelamatkan suami istri dari penderitaan-penderitaan batin yang tidak menguntungkan dalam hubungan perkawinan mereka.9
2. Sebab-sebab timbulnya syiqaq
Adapula kemungkinan timbulnya kasus dimana suami dipenjarakan seumur hidup dalam jangka waktu yang lama, atau dia hilang dan tidak diperoleh kabar apapun tentangnya, atau dia dipasung sepanjang hayatnya, sehingga tak mampu memberi napkah pada istrinya, maka dalam keadaan demikian dapat terjadi syiqaq kalau istri menginginkan perceraian, tetapi kalau tidak maka ikatan perkawinan itu tetap berlangsung. Sebaliknya, kalau dengan cara yang serupa itu, suami merasa tersinggung dan sakit hati, maka dia berhak untuk mengawini istri yang lain.
Bila salah seorang dari pasangan itu murtad, keluar dari islam maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan perceraian. Tetapi berdasarkan pendapat para ulama lain, perkawinan itu secara otomatis ada perceraian. Sedangkan jika suatu pasangan bukan muslim, lalu memeluk islam maka perkawinanan mereka dapat diteruskan. Namun hanya seorang dari mereka yang menerima islam, maka perkawinannya dapat dipisahkan walau tanpa perceraian.
Bila istri yang memeluk islam lalu perkawinannya batal dan dia mulai melakukan masa iddah, kemudian andaikan bekas suaminya itu ikut memeluk islam selama masa iddahnya itu, maka suaminya lah yang berhak menikahinya. Jika suaminya memeluk islam, sedangkan istrinya seorang yahudi atau nasrani, maka suaminya boleh mengizinkan istrinya untuk tetap menganut agamanya. Tetapi bila suami menerima islam sedangkan istrinya seorang tukang sihir, lalu dia juga segara memeluk islam mengikuti suaminya, maka mereka dapat terus berdampingan sebagai suami istri, namun wanitanya tidak menerima islam, maka segera saja pernikahan mereka bubar.

BAB IV
PENUTUP
     KESIMPULAN


DAFTAR PUSTAKA

KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta : UII Press),
2000, hlm. 89
Al-saldani, saleh bin ganim, nusyus, alih bahasa A.Syaiuki Qadri, cet. Vi (Jakarta: Gema Isani
Press), 2004, hal 31-34
Drs. Dahlan Idhamy, Asas-asas Fiqh Munakahat, Hukum Keluarga Islam (Surabaya :
 AL IKHLAS),1984, hal. 63.
Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin, Fiqih Munakahat  1 (Bandung : CV PUSTAKA SETIA),
1999, hal. 185.

0 komentar:

Posting Komentar