This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 24 September 2012

Taman Pendidikan Al-qur'an Sejak Dini Itu Sangatlah Penting

              "SEBUAH PENYESALAN"

    Waktu itu aku masih kecil kira kira berumur 10 tahun, waktu itu aku menganggap remeh yang namanya TPA, Apa sih TPA itu!!! Gak Penting Deh!!!, Waktu Ibuku suruh “ ayo Le ndang adus Gek mangkat tpa” Jawabku gini “Ah emoh Mak Durung Oleh Jangkrik..e” Haduh jangan ditiru z ,Waktu itu Ustadz Ustadzahnya seperti Mas Wit, Mas Lik , Mas Al , Mbak Wi , Mbak Tun, Mbak Sa, Mbak Na, Mas Rit Pokoknya Banyak Deh!! Duh duh malah jadi ngabsen zaaaa!! wkwkwkwkwk
Akupun Sering nggak berangkat TPA Hingga aku ketinggalan Iqro’ , eh tau nggak masa Aku tuh Jilid 4 tuh 1 tahun Gak selese toh....Huh memalukan!!!!! Ups!!!! jangan  keras2 ntar Ketahuan Orang Banyak!!!!xixixixixi
Umurku pun terus bertambah, aduh aduh tapi jilidnya gak bertambah ya,ya iyalah gax bertambah tpa ja “BERLING”, hah apatuh “berling” Midak Beling poo xixixixi??                  Dudu lah Nak KOBER karo Nak ELING!!
Waktupun terus berjalan hingga bertahun tahun Akupun Jilid 6, Jilid 6 sich iya duh duh tapi bacaanya “PLEGAK-PLEGUK.COM” Hingga ahirnya Ada Pengumuman “Adik adik Besuk Ada Munaqosah” Aku pun bicara dalam hati “Kalau Aku Ikut Pasti Aku Ngak Lulus “
jangan ditiru za itu namanya “kalah sebelum bertanding” Wuuuuu Mas e ra “Jentel Meeen” wkwkwk, Hingga Latihanpun Aku hanya 3 kali Masuk “”Astaghfirullah””Wuuu Mas e Keset wkwkwk.
Hingga ahirnya Ujianpun Tiba, akupun gax bisa, dan Waktu Diumumin Aduh aduh dari sekian santri tpa Al iman Aku aja yang gak lulus”Belajar Aja enggak Mau Lulus Pala mu Peang”
Hingga Pada Hari Itu adalah Hari yang Bersejarah bagiku karena pada Hari Itu aku Pertama kalinya Gagal dan sekaligus  pertamakalinya aku sadar akan pentingnya ilmu  AL-QUR’AN.
Waktu itu Aku Sedih , Malu , Bahagia
“Sedih Karena Aku Gagal Munaqosah”
“Malu Karena adikku saja yang bareng sama aku bisa lulus Tapi Aku Tidak Lulus”
“Bahagia Karena Aku sadar Petingnya Mempelajari Al-quran”
Tahu kah Bahwa SD, SMP, SMA Bahkan UNIVERSITAS Ilmu Qur’an Tak pernah Pudar karena selalu dikaji serta di pelajarinya ilmu ilmu yamg terkandung didalamnya,kalau Kita gak bisa baca bagaimana kita mempelajarinya Kawan!!!!
Untuk Adik adikku Tersayang EMMMMUUUAACHT muaaaacht, Belajarlah Ilmu Qur’an dari Kecil Imut imut Hingga Tua Renta renta,Janganlah Adik adik Menyesal Seperti Kakak Di kemudian Hari.
SELAMAT BELAJAR AL-QUR’AN SEMOGA MUNAQOSAH TAHUN INI BISA 100% LULUS DAN BISA DI WISUDA SEMUANYA......”ARE YOU READY” “YEEEEEEEEES” Ora sero sero Nyemprooot tekan kene ki lho Jiant.......

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ISLAM DIJAWA



A.    PENDAHULUAN

    Pada awal munculnya islam, baru 17 orang suku Quraisy yang pandai baca tulis. Nabi menganjurkan para pengikutnya untuk belajar membaca dan menulis. Beberapa wahyu penting mengenai ilmu telah menjadikan alas an bagi dukungan dan respon islam terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Hal ini menyebabkan tradisi keilmuan dalam islam begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya. 1
    Perkembangan ilmu itu tidak dapat hanya dirumuskan atau ditentukan oleh ilmu itu sendiri, tetapi perlu dikaitkan dengan dasar budaya masyarakat atau bangsa. Hal ini terjadi karena pada dasarnya nilai suatu pengembangan ilmu itu perlu ditinjau sejauh mana ilmu itu dapat menyumbangkan nilai tambah untuk kesejahteraan masyarakat tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya mereka.2

B.    RUMUSAN MASALAH
     Bagaimana perkembangan ilmu didunia Islam

C.    PEMBAHASAN “PERKEMBANGAN ILMU DI DUNIA ISLAM"
1.    ZAMAN KLASIK (Abad ke-6 sampai 7 M)

    Perkembangan ilmu pada masa islam klasik ditandai dengan masuknya budaya helenisme (berbicara dan berbudaya seperti orang yunani pada abad ke-5sampai 4 SM)
    Periode klasik terhitung sejak 40 tahun nabi Muhammad dilahirkan (571 M), sampai satu abad kemudian yang merupakan fase perluasan wilayah.
Perluasan wilayah Islam dimulai sejak Khalifah Abu Bakar As-Syidiq hingga dinasti Abbasiyah. Satu abad kemudian, Negara Islam telah membentang dari teluk Biskayadi  sebelah barat hingga Pakistan (Tiongkok) dan India, melebihi imperium Romawi pada puncak kejayaanya.

    Perluasan wilayah Islam keberbagai penjuru telah membawa konsekuensi bahwa Islam harus berhadapan dengan berbagai pluralitas bangsa dan globalisasi dunia pada saat itu: ras, bahasa, tradisi, budaya agama dan bangsa itu sendiri. Heteroginitas dan globalisasi itumenuntut umat islam untuk selalu mampu menampilkan ajaran-ajarannya dalam bentuk yang kosmopolit dan egaliter.
   
    Pada masa ini terjadi keragaman pendapat yang melahirkan istimbath hukum (sumber: ijma dan qiyas), dengan mengambil pertimbangan akal (ijtihad). oleh karena itu Nampak penalaran dengan akal mulai dikembangkan walaupun dalam tataran normative. Akibat perang siffin lahir aliran-aliran yang merupakan embrio keilmuan dalam masalah aqidah (kalam): Khawarij, Murjiah, Jabbariyah dan qodariyah3

2.    ZAMAN PERTENGAHAN  (abad ke 8-18 M)
    Ilmu di dunia Islam abad pertengahan, juga dikenal sebagai ilmu Islam atau ilmu bahasa Arab, adalah ilmu yang dikembangkan dan dipraktekkan di dunia Islam selama zaman keemasan Islam (c.750 CE - c.1258 M). Selama ini, India, Asyriac, pengetahuan Iran dan terutama Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan-terjemahan menjadi mata air bagi kemajuan ilmiah, oleh para ilmuwan dari peradaban Islam, selama Abad Pertengahan.
    Para ilmuwan dalam peradaban Islam adalah etnis yang beragam. Sebuah proporsi yang tinggi adalah Persia , serta sejumlah besar orang Arab , Moor , Asyrians , Somalia dan Mesir . Mereka juga dari latar belakang agama yang beragam. Sebagian besar adalah Muslim tetapi ada juga beberapa orang Kristen, Yahudi dan tidak beragama .

     Abad 8-9
    Kajian keislaman pada zaman pertengahan umumnya terpusat pada Al-Qur’an, Al-Hadits, Kalam, Kalam fiqh, serta ilmu gramatikal bhasa (nahwu,sharaf,balaghah). Penyampaian ilmu dan filsafat yunani ke dunia islam melalui rekonsiliasi, yaitu mendekatkan dan mempertemukan dua pandanganyang berbeda antara filsafat yunani (plato dan aristoteles
           mazhab eklektisisme) dengan pandangan keagamaan Al-Farabi.
    Al-Farabi atau Abu Nasr Muhammad Al-Farabi (sekitar 870-950) adalah seorang filsuf rasionalis dan matematikawan yang berusaha untuk menjelaskan, geometris, pola berulang populer di motif dekoratif Islam. Bukunya pada subjek berjudul Kerajinan Spiritual dan Rahasia Alam di Rincian Angka geometris.4
    Al-Farabi (872-050) menghasilkan banyak karya. karya-karya Al-farabi dapat di tinjau menjadi 6 bagian: Logika, Ilmu Matematika, Ilmu Alam, Teologi, Ilmu Politik Dan Kenegaraan, Bunga rampai (Kutub Munawa’ah). Karyanya yang paling terkenal adalah Al-madinah Al-Fadhillah( Kota atau Negara Utama) yang membahas tentang pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah Islam. Filsafat Politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi’ah.5
    Ibn Ishaq al-Kindi (801-873) adalah seorang filsuf dan polymath ilmuwan sangat terlibat dalam terjemahan klasik Yunani ke dalam bahasa Arab, antara lain karya Aristpteles dan Plotinus. Al-Kindi banyak meninggalkan banyak tulisan antara laindalam bidang astronomi, astrologi, aritmatika, fisika,geometri, medis, meteorology, music, psikologi dan politik.  Dia bekerja untuk mendamaikan konflik antara agama Islam dan afinitas nya untuk alasan, sebuah konflik yang akhirnya akan mengakibatkan masalah dengan penguasa itu. Dia mengkritik dasar alkimia dan astrologi, dan memberikan kontribusi terhadap berbagai mata
pelajaran ilmiah dalam tulisan-tulisannya. Dia bekerja pada kriptografi untuk khalifah, dan bahkan menulis sebuah artikel tentang subjek gerakan waktu, ruang dan relative.
    Ibnu Sina (908-946) adalah seorang dokter, Persia astronom, ahli fisika dan matematika dari Bukhara , Uzbekistan . Selain bekerja tuannya, The Canon of Medicine , ia juga melakukan observasi astronomi yang penting, dan membahas berbagai topik termasuk energi bentuk yang berbeda dapat mengambil, dan sifat-sifat cahaya. Dia memberikan kontribusi bagi pengembangan teknik matematika.
    Al-Ghazali atau Abu Hamid Muhammad al-Ghazali Lahir Pada Tahun 1059 M Al-Ghazali dalam sejarah falsafat Islam dikenal sebagai orang yang mulanya  syak terhadap segala-galanya. Perasaan syak ini timbul dalam dirinya dari pelajaran Ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari Imam al-Haramain al-Juwaini Guru besar Madrasah al-Nizamiah Nisyapur. Sebagaimana dijelaskan al-Ghazali dalam bukunya al-Ninqqids Min al-Dalal (Penyelamat Dari Kesesatan) ia ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya, ahirnya dalam Tasawwuflah ia memperoleh apa yang dicarinya, setelah tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat ia meninggalkan kedudukanya yang tinggi di Madrasah al-Nizamiyah di bagdad tahun 1105M  dan pergi ke damaskus bertapa disalah satu menara Mesjid Umawi yang ada disana. Setelah bertahun-tahun ia mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus pada tahun 1105M dan ia  meninggal dunia disana pada tahun 1111M. Tasawwufkah yang dapat menghilangkan rasa syak yang lama mengganggu dirinya.
    Abu al-Walid Muhammad Ibn Rusyd ia lahir pada tahun 1126 di Cordova, ia sebagai filosof dan ahli dalam hukum dan ia pernah menjadi hakim di Seville dan beberapa kota lain di Spanyol, ia mempunyai pengaruh besar dikalanga istana terutama di zaman sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansyur. ia Meninggal di mMaroko dalam usia 72 tahun di tahun 1198M.
    Ibn Rusyd meningglkan banyak karangan-karangan salah satunya adalah ilmu hukum Bidayah al-Mujtahid dll.6
     Abad 9-12
    Pada Zaman pertengahan setelah kemenangan islam ke berbagai wilayah, disiplin ilmu yang berkembang antara lain: Matematika, Kedokteran, Optik, Fisika, Arsitektur, Geografi, Sejarah, Politik, Sosiologi, Psikologi, Pendidikan, Astronomi.
    Keilmuan dalam Islam runtuh karena dua factor antara lain: Faktor Eksternal(Kekalahan umat Islamdalam perang salib pada tahun 1095-1270, Ada serangan dari tentara mongoldibawah komando Jenghis Khan pada tahun 1155-1227),Faktor internal(memudarnya tali persaudaraan dalam umat islam, fanatisme golongan, Diterimanya paham yunani mengenai realitas yng statis, islam dinamis, persepsi keliru dalam memahami pendapat Ghazali dan ibnu rusyd.
3.    Zaman Modern
Pada zaman Modern terjadi konsep ilmu yang dikhotomik dikalangan umat muslim yang cenderung mempertahankan nilai keislamanya dan kooperatif terhadap perkembangan ilmu didunia barat, hal itu disebabkan akibat adanya kondisi yang bertolak belakang dimasa pertengahan/modern yang diputus hubungan dengan masa kemunduran, pada zaman Modern ini merupakan era kebangkitan kembali umat Islam.
4.    Zaman Kontemporer
Pada zaman kontemporer ini intelektual di Indonesia mempunyai gagasan bahwa pengembangan perguruan tinggi wajib menghilangkan dikhotomi ilmu, yang dimaksud dikhotomik ilmu adalah pendidikan model umum dan keagamaan., dan Faruqi (w.1986) dan attasberpendapat bahwa Muslim wajib menuntut ilmu syari’ah dan ilmu umum. pada zaman ini terdapat beberapa Negara muslim yang berevolusi diantaranya, Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan Bahrain

D.     PENUTUP
Perkembangan ilmu didunia Islam perawal dari zaman klasik yang merupakan fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (6,5-10), zaman pertengahan yang merupakan fase kemunduran ilmu di dunia Islam, zaman modern yang merupakan era kebangkitan umat Islam, dan Pada zaman kontemporer ini intelektual di Indonesia mempunyai gagasan bahwa pengembangan perguruan tinggi wajib menghilangkan dikhotomi ilmu

E.    DAFTAR PUSTAKA
Suhasti, Ermi S. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Prajaya Media, 2012
www.google.com tgl 29/02/2012
Muzairi, M. Ag., Filsafat Umum, Yogyakarta: Teras, 2009
Prof. Dr. Anna Poedjiadi, Dr. Suwarma AM., S.H., M.pd. Filsafat Ilmu,
    Jakarta: Universitas Terbuka, 2008

Sabtu, 22 September 2012

NUSYUS DAN SIQAQ


                                                    PEMBAHASAN NUSYUS
     Nusyus
1.    Pengertian
    Arti kata nusyus ialah membangkang. Yang dimaksud ialah membangkang terhadap kewajiban-kewajiban dalam hidup perkawinan. Arti kata syiqaq ialah retak. Yang dimaksud adalah retak hubungan perkawinan, tidak ada persesuaian antara suami dan istri sehingga dikhawatirkan terjadi perceraian.1
Beberapa pengertian nusyus diantaranya menurut fukaha hanafiah seperti yang dikemukakan ganim mendefinisikan dengan ketidaksenangan yang terjadi diantara suami dan istri. Ulama madzab maliki berpendapat bahwa nusyus adalah saling menganiyaya suami istri, Ibnu masnur mendefinisikan nusyus sebagai rasa kebencian terhadap istri ataupun sebaliknya.
Menurut Hamid ( 1977 : 250 ) nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditafsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami. Tentu saja kehendak suami yang tidak bertentangan dengan hukum agama. Apabila kehendak suami bertentangan atau tidak dapat dibenarkan oleh agama, maka istri berhak menolaknya. Dan penolakan tersebut bukanlah sifat nusyuz ( durhaka ).
Sementara menurut Rasyid ( 1994: 398 ) nusyuz adalah apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’
Membangkang terhadap kewajiban-kewajiban dalam hidup perkawinan dapat terjadi pada pihak istri dan dapat pula terjadi pada pihak suami.
Nusyus berawal dari salah satu pihak, baik dari istri maupun dari suami, bukan dari kedua-duanya secara bersama-sama, karena hal tersebut bukan lagi merupakan nusyus melainkan syiqaq2
Nusyus pada pihak istri terjadi apabila ia melalaikan kewajiban-kewjibannya sebagai istri, tidak mau taat kepada suami, tidak mau bertempat tinggal bersama suami, suka menerima tamu-tamu orang yang tidak disukai suami, suka keluar rumah tanpa ijin suami, dan sebagainya.
Sebagaimana telah disebutkan dimuka, apabila suami melihat istrinya melalaikan kewajiban-kewajibannya sebagai istri, hendaklah mula-mula ia memberi nasihat dengan baik-baik. Apabila dengan nasihat itu masih juga tidak mengalami perubahan, suami hendaklah berpisah tidur dari istrinya. Apabila hal inipun masih belum berhasil membawakan perubahan sikap istri, suami dibenarkan memukul, bukan pada bagian muka, dan tidak mengakibatkan luka pada bagian istri. Apabila dengan jalan memukul pun belum dapat membawakan perubahan pada sikap istri, sampailah hubungan suami istri pada taraf syiqaq.
Nusyus terjadi pada pihak istri, setelah diusahakan untuk baik kembali dengan jalan nasihat, berpisah tidur dan memukul tetapi tidak berhasil juga itu, berakibat gugurnya kewajiban nafkah atas suami terhadap istrinya. Dalam hal suami beristri lebih seorang, terhadap istri yang dinusyus, kecuali tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Namun masih wajib memberika tempat tinggal.
Apabila nusyus terjadi pada pihak suami, dan ia idak mau memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri, hendaklah diberi nasihat-nasihat secukupnya agar kembali menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila kekhawatiran nusyus suami itu datangnya dari istri, karena misalnya suami tidak senang lagi terhadap istrinya yang makin tua, karena sakit yang tidak kunjung sembuh, karena muka yang makin berkerut dan sebagainya, QS an-Nisa:128 mengajarkan, “apabila seorang istri khawatir suami akan nusyus atau akan meninggalkannya, tidak ada halangannya suami istri mengadakan perdamaian; perdamaian adalah lebih baik (daripada perceraian).
Isi perdamaian yang dimaksud dalam ayat alqur’an dapat diterangkan dengan peristiwa yang mendahului turunnya ayat tersebut, sebagaiman diriwayatkan Bukhari dari Aisyah, yaitu ada istri seseorang yang tidak lagi memennuhi hasrat suaminya sehingga suaminya tampak ingin menceraikannya, kemudian ingin kawin lagi dengan perempuan lain. Melihat hal demikian itu, istri kemudian mengatakan kepada suaminya, “ Tahanlah aku, janga engkau ceraikan, kawinlah dengan perempuan lain, kubebaskan engkau dari kewajiban memberikan nafkah dan menggilir aku.” Dalam hadis tersebut terlihat adanya bentuk perdamaian yang amat jelas, yaitu istri tersebut melepaskan haknya untuk menerima nafkah dan giliran dari suaminya, asal tidak dicerai. Perdamaian seperti ini dinyatakan dalam alqur’an lebih baik daripada perceraian.3

2.    Bentuk-bentuk Nusyus
     Perbuatan yang dianggap nusyus istri :

1.    Apabila istri menolak untuk pindah kerumah kediaman bersama, tanpa sebab. (tempat tinggal yang layak bagi dirinya.)
2.    Ababila istri keluar tempat tinggal bersama tanpa seizin suami, kecuali karena
kebutuhan suami (pendapat madzab syafii dan hambali)
3.     Apabila istri menolak ditiduri suami tanpa sebab yang jelas.
4.    Apabila istri menolak hidup dalam satu rumah dengan suami dan dia lebih suka hidup ditempat lain dan tidak bersama suami.
5.    Apabila keduanya tinggal dirumah istriatas seizin istri, kemudian pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk kerumah itu dan bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan suami.
6.    Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahromnya walaupun perjalanan itu wajib seperti haji, karena paerjalanan perempuan  tidak dengan suami atau mahromya termasuk ma’siat4

     Perbuatan yang dianggap nusyus suami :

1.    Mendiamkan istri, tidak diajak bicara, berbicara dengan kata-kata yang kasar dan menyakitkan
2.    Mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya.
3.    Berburuk sangka terhadap istri, dan tidak mengajak istri tidur bersama.
4.    Menyuruh istri melakukan ma’siat
5.    Tidak menggauli istrinya tanpa uzur atau sebab-sebab yang jelas
6.    Menganiaya istri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan hendak mencelakakan istri.
7.    Tidak memberikan nafkah sandang, pangan, dan lain-lain.
8.    Menjauhi istri karena penyakit yang dideritanya.5

3.     Cara Mengatasi Nusyuz

Firman allah Swt dalam Q.s An-Nissa : 34

وَالاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَتَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya:
“wanita-wanita yang khawatirkan kedurhakaanya (nusyuz), maka Nasihatilah mereka, dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka danpukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membahayakan). Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk memisahkan mereka. Sesungguhnya Allah Swt Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang durhaka yaitu :
a. Suami berhak memberi nasihat kepada istrinya bila tanda-tanda kedurhakaan istri sudah tampak.
b. Sesudah nyata durhakanya,suami berhak berpisah tidur dari istrinya.
c. Sesudah dua pelajaran tersebut ( nasihat dan berpisah tidur ), kalau istri masih terus juga durhaka, suami berhak memukulnya.(tidak sampai melukai badan dan tidak boleh memukul bagian muka)6
Akibat kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri yaitu menerima uang belanja, pakaian dan pembagian waktu.berarti dengan adanya durhaka istri., maka ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami dan istri tidak berhak menuntut.
Firman allah Swt dalam Q.s Al-Baqarah : 228

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya :
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban (terhadap suaminya) menurut cara yang ma’ruf.”
Menurut Hakim dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam (2000 : 108) cara untuk mengatasi nusyuz adalah dengan mengadakan perundingan antara suami istri untuk membereskan serta menghilangkan kesalahpahaman dan memecahkan masalah tersebut bersama. Usaha ini menurut islam disebut dengan istilah ishlah, yaitu upaya perdamaian yang diusahakan oleh kedua belah pihak. Upaya ishlah ini divisualkan dalam bentuk musyawarah. Dengan musyawarah serta keinginan yang baik, maka tidak ada masalah yang sulit yang tidak dapat dipecahkan.
Al-quran memperingatkan wanita untuk berbuat sesuatu manakala terjadi ketidakberesan, ketidakserasian, atau miskomunikasi antara istri dan suaminya. Jadi, wanita dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi kemelut dalam keluarga, mengajak suaminya untuk merundingkan problema yang menjadi ganjalan diantara mereka, dalam upaya memperbaiki hubungan mereka, seperti dijelaskan dalam al-quran surat An-nisa : 128

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ
أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ
Artinya :
“Apabila wanita ( istri-istri ) terjadi pembangkangan ( nusyuz ) dan pertentangan ( sikap
acuh tak acuh ) dengan suaminya. Maka tidaklah mengapa bagi keduanya untuk
mengadakan perdamaian, dan perdamaian adalah sesuatu yang baik”.
Apabila salah satu pihak benci terhadap yang lain, hendaklah jangan mengharapkan atau melihat kesalahan sedikit pun diantara mereka. Padahal bisa saja satu atau dua hari saja sudah hilang kesalahannya bahkan mungkin hanya beberapa saat saja. Selanjutnya, yang timbul justru suatu sebaliknya, yaitu kerinduan. Oleh karena itu, masalah didalam rumah tangga janganlah terlalu dianggap serius, anggap saja sebagai bumbu perkawinan. Dalam hal ini Al-quran Q.s An-nisa 19, memberi peringatan yaitu:

فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Artinya :
“Apabila kamu tidak senang kepada istri, maka boleh jadi apa yang kamu tidak senang tadi
justru Allah SWT membuat kebaikan yang banyak”.

4.    Nusyuz dalam Wacana Hukum dan Sosial

Banyak kalangan berpendapat, KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang materi prinsipilnya banyak dirujuk dari ketentuan-ketentuan hukum dalam KHI mengandung banyak kelemahan bagi perempuan dan masih memancarkan semangat patriarkhi karena perempuan diposisikan sebagai subordinat di bawah kekuasaan lelaki. Pasal 84 KHI tentang nusyuz, misalnya, mencerminkan ketidakadilan terhadap perempuan. Nusyuz dan hukumannya hanya berlaku untuk istri yang dianggap tidak memenuhi kewajiban. Sebaliknya, suami yang tidak memenuhi kewajiban tidak dikenakan sanksi nusyuz.
Sementara itu, dalam RUU terapan misalnya, di dalam bab mengenai Hak dan Kewajiban Suami-istri, Pasal 72 Ayat 4, disebutkan, antara lain, kewajiban suami adalah membimbing istri dan rumah tangga, tetapi mengenai urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan bersama oleh suami-istri secara bersama-sama. Suami dengan penghasilannya menanggung nafkah, kiswah, dan tempat kediaman istri, membiayai rumah tangga dan membiayai perawatan dan pengobatan bagi istri dan anak, serta biaya pendidikan.
Meskipun demikian, tidak ada ”sanksi” bila suami tidak bisa memenuhi kewajibannya itu karena pada pasal selanjutnya, yaitu pasal 72 Ayat (6) disebutkan bahwa ”Apabila suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud Ayat (4), istri dengan kerelaannya dapat membebaskan suami dari kewajiban tersebut.” Selanjutnya Ayat (7) menyebutkan, ”Kewajiban suami sebagaimana dimaksud Ayat (5) gugur bila istri nusyuz.” Nusyuz sendiri dalam arti umum berarti membangkang.7
Bandingkan dengan pasal yang menyebutkan kewajiban istri di dalam Pasal 76. Istri dapat dianggap nusyuz bila tidak melaksanakan kewajibannya kecuali dengan alasan sah. Yang termasuk kewajiban istri seperti diatur dalam Pasal 75 adalah ”Berbakti lahir-batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum Islam” serta ”istri wajib menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya”. Selanjutnya Pasal 76 Ayat (2) menyebutkan, ”Nusyuz-nya istri menggugurkan kewajiban suami terhadap istri sepanjang tidak berkaitan dengan kepentingan anak.”
Ayat (3) pasal yang sama juga menyebutkan, ”Kewajiban suami pada Ayat (2) berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.” Sedangkan yang menentukan ada-tidaknya nusyuz pada istri harus didasarkan atas bukti yang sah dan ditetapkan oleh pengadilan. Dengan demikian, bila sua-mi tidak mampu memenuhi kewajibannya mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya di dalam rumah tangga, istri dianjurkan membebaskan suami dari kewajiban itu dengan kerelaan, sementara bila istri ”membangkang” terhadap suami maka kewajiban suami langsung gugur, Jika ditelusuri ke akar pemikirannya, kecenderungan UU dan ketentuan-ketentuan yang ada sebetulnya lebih dilatarbelakangi oleh tradisi patriarkhi yang sangat kuat dan mengakar di Indonesia.
BAB III
PEMBAHASAN SYIQAQ
     Syiqaq

1.    Pengertian
Syiqaq merupakan tahap perselisihan suami istri setelah nusyus yang dikhawatirkan akan diikuti dengan terjadinya perceraian. Apabila terjadi syiqaq  antara suami dan istri, QS an-Nisa: 35 mengajarkan, “ Apabila kamu khawatir terjadi keretakan antara suami dan istri, hendaklah kamu angkat hakam (wasit) dari keluarga suami dan hakam dari keluarga istri. Apabila para hakam mengusahakan baiknya hubungan suami istri, Allah pasti akan mempertemukan para hakam maupun suami istri bersangkutan,” Dalam ayat ini kita jumpai hanya satu  alternatif, yaitu usaha ishlah oleh para hakam. Hal ini memberikan ketentuan bahwa para hakam supaya dengan sekuat tenaga berusaha mempertemukan kembali suami dan istri. Hanya dalam keadaan yang menang telah memaksa, barulah para hakam mengambil alternatif lain, yaitu menceraikan antara suami dan istri.
Kewajiban para hakam adalah berbuat apasaja untuk kemaslahatan dua suami istri, antaralain, mendamaikan dan mengajak merekakembali kepada ikatan perkawinan yang harmonis. Dan kalau tidak  mungkin tercapai perdamaian diantara suami istri, mereka berhak pula mengahiri kehidupan perkawinan itu.8
Syiqaq dapat terjadi disebabkan oleh dua belah pihak suami dan istri, dapat pula terjadi disebabkan oleh salah satu, suami atau istri. Syiqaq yang terjadi disebabkan oleh dua belah pihak, suami dan istri, misalnya karena adanya perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan; masing-masing bertahan pada wataknya, sama-sama tidak mau sehingga kehidupan rumah tangga penuh dengan ketegangan-ketegangan yang tidak kunjung reda. Syiqaq disebabkan oleh suami, misalnya perlakuan suami yang amat sewenang-wenang terhadap istri, sehingga amat berat bagi istri untuk dapat bertahan sebagai istri. Syiqaq yang terjadi pada pihak istri, misalnya sikap nusyus yang tidak dapat ditundukkan suami dengan jalan nertahap; nasihat, pisah tempat tidur, dan pukulan yang menjadi hak suami memberi pelajran terhadap istrinya.
Dalam hal syiqaq benar-benar tidak dapat diatasi sehingga menurut pertimbangan para hakam lebih maslahat apabila diceraikan saja antara suami dan istri yang bersangkutan,  dalam menceraikan keduanya itu, dapat diajukan pertanyaan apakah hakam berkedudukan sebagai wakil suami istri atau mempunyai kuasa penuh untuk menentukan keputusan. Dalam hal para hakam berkedudukan sebagai wakil suami istri bersangkutan, mereka hanya dapat bertindak apabila mendapatkam persetujuan suami istri yang mewakilinya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah, Syafii dalam salah satu riwayat yang kuat dan Ahmad dalam salah stu riwayat yang palinh masyhur. Hasan basri, Atha, Qatadah, Zaid, Abu Tsaur, ulama-ulama Dhahiri, Syiah Ja’fariyah, dan Syiah Zaidiah juga berpendapat demikian.
Pendapat tersebut beralasan bahwa suami istri adalah orang-orang yang telah dewasa karenanya hakam tidak mempunyai kekuasaan terhadap mereka. Hakam hanya bertugas untuk berusaha mengadakan perbaikan hubungan perkawinan suami istri. Tanpa mendapat kuasa dari suami istri yang bersangkutan, hakam tidak dapat mengambil keputusan untuk menceraikan suami istri. Dalam hal hakam tidak mendapat kuasa dari suami istri, padahal untuk mengadakan ishlah tidak berhasil, persoalannya kembali kepada  pengadilan, dan pengadilanlah yang kenudian mengambil keputusan setelah mendengar keterangan dari pendapat hakam.
Pendapat lain mengatakan bahwa hakam mempunyai wewenang penuh untuk mengambil keputusan, apakah seharusnya perkawinan dilangsukan atau lebih maslahat diputuskan. Dalam hal hakam mengambil keputusan untuk itu dinyatakan sah, pengadilan tinggal menguatkan saja. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Abu Salamah, Sya’bi, dan Nakh’i. Imam Malik, Auza’i, dan Ishak juga berpendapat lain. Ulama-ulama Madinah berpendapat demikian pula.
Pendapat ini mengemukakan bahwa hakam sebagaimana dinyatak dalam Alqur’an itu jelas bukan wakil suami istri sebab yang diperintahkan mengangkat hakam bukan suami istri yang bersangkutan, tetapi ulul amri, dalam hal ini adalah pengadilan. Oleh karenanya, kekuasaan hakam untuk mengambilkan keputusan untuk melangsungkan perkawinan atau menceraikan antara suami dan istri telah memperoleh kekuatan dari ulul amri. Khalifah Utsman pernah mengangkat Ibnu Abbas dan Muawiyah untuk bertindak  sebagai hakam  antara Uqbal bin Abi Thalib dan istrinya Fatimah binti Atabah dengan memberikan kekuasaan penuh, apabila mereka mempertimbangkan yang lebih maslahat adalah menceraikan antara suami dan istri, hendaklah mereka menceraikan. Khalifah Ali juga pernah melakukan hal yang sama, memberi kekuasaan penuh kepada para hakam yang diangkatnya untuk mengambil keputusan mana yang lebih maslahat; melangsungkan hubungan perkawinan atau menghentikannya.
Menurut hemat kami pendapat kedua ini lebih memberikan tanggung jawab kepada para hakim agar benar-benar bekerja dan mempertimbangkan maslahat yang tengah dhadapi sehingga dalam mengambil keputusan terakhir benar-benar dengan pertimbangan yang masak, ditinjau dari segala segi kemungkinan-kemungkinan secara menyeluruh. Apa yang telah diputuskan oleh para hakam tinggal dikuatkan oleh pengadilan. Dengan demikian, perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, apabila sebaiknya berakhir dengan perceraian, akan segera dapat menyelamatkan suami istri dari penderitaan-penderitaan batin yang tidak menguntungkan dalam hubungan perkawinan mereka.9
2. Sebab-sebab timbulnya syiqaq
Adapula kemungkinan timbulnya kasus dimana suami dipenjarakan seumur hidup dalam jangka waktu yang lama, atau dia hilang dan tidak diperoleh kabar apapun tentangnya, atau dia dipasung sepanjang hayatnya, sehingga tak mampu memberi napkah pada istrinya, maka dalam keadaan demikian dapat terjadi syiqaq kalau istri menginginkan perceraian, tetapi kalau tidak maka ikatan perkawinan itu tetap berlangsung. Sebaliknya, kalau dengan cara yang serupa itu, suami merasa tersinggung dan sakit hati, maka dia berhak untuk mengawini istri yang lain.
Bila salah seorang dari pasangan itu murtad, keluar dari islam maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan perceraian. Tetapi berdasarkan pendapat para ulama lain, perkawinan itu secara otomatis ada perceraian. Sedangkan jika suatu pasangan bukan muslim, lalu memeluk islam maka perkawinanan mereka dapat diteruskan. Namun hanya seorang dari mereka yang menerima islam, maka perkawinannya dapat dipisahkan walau tanpa perceraian.
Bila istri yang memeluk islam lalu perkawinannya batal dan dia mulai melakukan masa iddah, kemudian andaikan bekas suaminya itu ikut memeluk islam selama masa iddahnya itu, maka suaminya lah yang berhak menikahinya. Jika suaminya memeluk islam, sedangkan istrinya seorang yahudi atau nasrani, maka suaminya boleh mengizinkan istrinya untuk tetap menganut agamanya. Tetapi bila suami menerima islam sedangkan istrinya seorang tukang sihir, lalu dia juga segara memeluk islam mengikuti suaminya, maka mereka dapat terus berdampingan sebagai suami istri, namun wanitanya tidak menerima islam, maka segera saja pernikahan mereka bubar.

BAB IV
PENUTUP
     KESIMPULAN


DAFTAR PUSTAKA

KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta : UII Press),
2000, hlm. 89
Al-saldani, saleh bin ganim, nusyus, alih bahasa A.Syaiuki Qadri, cet. Vi (Jakarta: Gema Isani
Press), 2004, hal 31-34
Drs. Dahlan Idhamy, Asas-asas Fiqh Munakahat, Hukum Keluarga Islam (Surabaya :
 AL IKHLAS),1984, hal. 63.
Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin, Fiqih Munakahat  1 (Bandung : CV PUSTAKA SETIA),
1999, hal. 185.

Jumat, 21 September 2012

                                                               IMPIAN

Terangkai indah dalam hati
Cita-cita yang selalu menghiasi
 Impian yang begitu besar
 Tergores dan terkapar
       
Terkadang kita mudah tuk membayangkan
Terkadang kita terlupa untuk mewujudkan
Tantangan hidup yang begitu berat
Menantang kita digaris start

Terlena, terlena, kuterlena
Dengan hambatan hidup yang mempesona
Hati yang kuat adalah kuncinya
Untuk wujudkan cita-cita   

Hari yang indah kulewatkan
Masa muda yang penuh kebahagiaan ku abaikan
Kusita semua waktuku untuk berjuang menuju citaku
Kebahagiaan adalah tujuanku

Hamparan pasir yang begitu luas
Terik matahari yang begitu panas
Tak mengguncangkan hati, diri ini tetap bertahan
Demi sebuah impian

Tak ada kata terlambat dalam hidupku
Semua berawal dari kecil
Impian kecil tapi bermakna besar
Yang akan selalu menghiasi hidupku

Kuwujudkan dengan secercah harapan
Beriring dengan pengorbanan yang kulakukan
Sakit, pedih, panas, dingin kulalui
Kebahagiaan adalah ahir dari kepedihan
Karya : Arifin Ma’ruf (dibuat tgl 29-08-2012)

Kamis, 20 September 2012




                                               SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

    Sejarah merupakan bukti yang paling konkrit dengan adanya sesuatu , tulisan tulisan tentang asal mula islamisasi di asia tenggara hampir semua di mulai dengan pasai dan kota-kota pelabuhan lainya sepanjang  pesisir timur  laut dan pesisir utara jawa.
    Adapun mengenai kedatangan islam di Indonesia masih terdapat beberapa perbedaan pendapat dari para ahli sejarah. ada yabg menyebut abad ke-7 Masehi, hal ini di dasarkan pada adanya pedagang pedagang muslim asal arab, Persia, dan india yang sudah sampai ke kepulauan nusantara.
    Pendapat lain menyatakan bahwa islam masuk Indonesia pada abad ke-13 Masehi. hal ini ditandai oleh sudah adanya masyarakat muslim di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang. Sementara itu di Jawa terdapat makam Fatimah binti Maimun di Leran, dan makam-makam di tralaya yang berasal dari abad ke-13 Masehi. Hal ini merupakan bukti berkembangnya komunitas islam, termasuk di pusat kekuasaan hindu jawa yaitu Majapahit.1

1.    Samudra pasai
    Tulisan kerajaan ini berasal dari berita cina pada awal tahun 1282 yang memberikan  laporan tentang adanya utusan dari sa-mu-ta-la (samudra) kekaisaran cina dengan nama islam yaitu sulaeman dan Husain di dapatkan berasal dari tulisan pada nisan makam sultan al-malik al-saleh(697/1297) yang di sebutkan sebagai raja pertama samudra , yang menikah dengan putri raja perak, kemudian muncul kerajaan gabungan dengan yang disebut dengan samudra pasai. Kerajaan ini bertahan sampai tahun 1521, ketika portugis menguasainya
2.    Malaka
    Setelah dari Sumatra timur islam berkembang dimalaka sepanjang jalur perdagangan, kerajaan ini di di dirikan oleh parameswara (sekitar 1400) yang berganti nama Muhammad iskandar shah setelah menikah  dengan saudara perempuan raja pasai 
    Pada tahun 1445-1459 ketika malaka di perintah oleh sultan muzaffar shah, penyebaran islam  langsung dilakukan sendiri sehingga mengalami kemajuan pesat yang mampu menguasai perdagangan, pada tahun 1511 portugis menguasai malaka, sehingga peran malaka sebagai pusat penyebaran islam ini pun berakhir, sehigga  ibu kota dipindah dari sungai johor ke pulauan riau untuk meng akomodasi kepentigan bangsa aceh, pada tahun 1641 aceh kemudian menggantikan malaka sebagai pusat perdagangan islam
3.    Aceh   
    Kesultanan aceh didirikan oleh  Ali mughayat shah, puncak kejayaan Aceh ketika pada masa pemerintahan sultan iskandar muda (1608-1637),yang menguasai sepanjang pantai Sumatra mengatur perdaganan lada,masa ini pula sekitar gayo dan minangkabau, kematian sultan iskandar muda membuat aceh memasuki kemunduran, dan peranya di gantikan adik iparnya yaitu iskhandar thani

setelah penyebaran islam di aceh  kemudian  berpindah ke minangkabau
4.    Minang kabau
    Hubungan dengan aceh di mulai dengan perseteruan antara penguasa aceh dengan minangkabau, dan  diakhiri dengan perkawinan penguasa minangkabau dengan saudara perempuan sultan aceh, minangkabau mendapatkan wilayah  teritori pantai yang cukup luas dari mertuanya (aceh), sehingga harus menjalin hubungan dengan para pedagangan muslim
Setelah dari minang kabau penyebaran islam berpindah ke serawak, sulu, dan Mindanao
5.    Jawa
    Menurut Ma Huan pada tahun 1415-1432 di jawa bagian timur terdapat tiga komunitas. Pertama adalah penduduk muslim yang berasal dari barat, kedua komunitas cina yang beberapa di antaranya telah memeluk islam, dan ketiga penduduk asli. Walaupun komunitas muslim yang berasal dari pribumi sangat sedikit tetapi setudaknya telah ada indikasi adannya permukiman islam
    Di jawa terjadi fase perubahan yang sangat besar yang di kenal dengan fase penyebaran islam,   para wali  dalam menyebarkan islam di jawa beraneka ragam ada dengan dalam menyebarkan islam menggunakan seni budaya, dan ada juga dengan tradisi /adat masyarakat setempat  mereka sangat aktif  dan berpindah-pindah dengan cara akulturasi budaya yang sangat luwes, dan juga sering memegang peranan yang sangat penting baik bagian dari pemerintahan maupun sebagai pemegang otoritas sendiri ini , sistem ini akhirnya memunculkan wacana yang disebut desa perdikah dan pesantren .
    Salah satu system pemerintahan yang berkembang menjadi pemerintahan yaitu kerjaan demak yang menjadi kerjaan islam pertama di jawa. Raden patah adalah raja pertama menggunakan gelar senopati  jimbun Ngabdurrahman panembahan Palembang sayidin panatagama.  Yang jalanya pemerintahan di bantu oleh para  ulama yang di kenal dengan wali songo
    Pada tahun 1524-1546 islam mengalami penyebaran yang sangat pesat keseluruh jawa bahkan sampai Kalimantan, ini merupakan usaha  sultan demak yang ketiga yaitu trenggono yang bergelar  ahmad abdul Arifin yang melalui serangkaian penaklukan sunda kelapa, majapahit, dan tuban sekitar tahun 1527  setelah itu penaklukan demak meliputi madiun, blora (1530), Surabaya (1531), pasuruan  (1535), lamongan , blitar, wirasaba, dan kediri(1544), pengakuan kekeuasaan  oleh Banjarmasin dan Palembang semakin memperluas pesebaran islam itu sendiri, di bantu oleh syeh siti jenar dan sunan tembayat .
    Pada tahun 1619 ketika  mataram  di bawah kekuasaan  sultan agung  seluruh jawa timur berada di bawah pemerintahan islam,  setelah  sultan agung wafat dan digantikan amangkurat 1 konflik yang banyak terjadi justru pertentangan pemerintahan dengan kelompok yang di dukung oleh ulama antara lain dengan raden kajoran yang pada akhirnya membawa keruntuhan kraton mataram
    Tome pires mengatakan islam telah ada di Cirebon sejak  1470-1475, tetapi pada awal abad XVI  baru ada kerajaan islam  yang didirikan oleh Syarif hidayatullah yang di kenal dengan sunan gunung jati, dan kerajaan itu di kenal dengan kesultanan Cirebon, dari  Cirebon sunan gunung jati menyebarkan agama islam kedaerah- daerah seperti , kawali, majalengka, kuningan, sunda kelapa sampai banten, di banten inilah antara tahun 1524-1525 dasar dasar pengembangan islam dan perekonomian islam di bangun oleh sunan gunung jati  dan diteruskan oleh putranya hasanudin.
    Dan penyebaran islam pun mencapai kepulaun Maluku mengikuti jalur perdagangan mulai pertengahan akhir abad XV, kemudian berpindah ke Kalimantan, indiksa islam di Kalimantan telah ada sejak abad XVI , setelah itu penyebaran islam  berpindah ke bali, Lombok dan Sumbawa.









B. Keyakinan Masyarakat Jawa Terhadap Sesuatu Yang Sakral
    Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiiki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci atau yang ghaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan, sehingga terdapatlah rukun iman yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai/di imani oleh orang muslim.
    Yang termasuk rukun iman adalah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada para Nabi, iman kepada kitab suci, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodho dan qodar. Namun demikian, diluar semua itu masih terdapat unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai.
    Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan animisme dan dinamisme dalam proses perkembangan Islam itulah yang berinterrelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam islam.
    Ritual-ritual yang dibuat atau dipakai orang-orang jawa islam yang masih disesuaikan dengan kebiasaan Hindu-Budha nya, yaitu seperti adat mitoni (memperingati 7 bulan kehamilan) memperingati orang mati dengan ritual doa seminggu, 40 hari, nyatos, nyewu dan mendak, ada adat selamatan, gerebek suro nyandran, kliwonan sedekah bumi, nyekar (ziarah kubur) dan masih banyak adat-adat kebiasaan islam lain yang dihubungkan dengan budaya hindu-budha.
    Pada aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan dengan berbagai unsur Hindu Budha maupun kepercayaan primitif. Namun, penghayatan tentang prinsip tauhid itu akan berbeda tatkala pemahaman tentang ketuhanan itu masuk dalam dimensi mistik. Terdapatlah sebutan hidup (urip), sehingga Tuhan Allah disebut sebagai yang Maha Hidup, yang mengandalkan bahwa tuhan sebagai dzat yang maha hidup, yang menghidupi segala alam. Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati/ hidup.
    Kepercayaan terhadap mahluk jahat tidak saja ada pada agama Islam, tetapi juga ada dalam agama Hindu maupun kepercayaan primitif. Dalam Islam makhluk jahat itu disebut syaitan, yang dalam jawa disebut setan, dan pemimpin setan disebut iblis, ada juga jin yang termasuk dengan golongan jahat, tetapi ada yang dapat dimanfaatkan untuk membantu manusia, sedangkan pada agama hindu jenis mahluk jahat/roh-roh jahat sebagai musuh Dewa, antara lain warta musuh Dewa Indra.  Roh jahat yang lebih rendah derajatnya dari musuh dewa disebut raksa, yang bisa menjelma menjadi binatang/manusia dan roh jahat pemakan daging jenazah adalah picasa.
    Menurut keyakinan islam, orang yang sudah meninggal dunia, ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur/ alam Barzah, sebagai alam sebelum manusia memasuki alam akhirat, hanya saja menurut orang jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang meninggal dunia berkeliaran disekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di makam. Mereka masih mempunyai kontak dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu nyambagi/ datang ke kediaman anak keturunan, roh-roh yang baik yang bukan roh nenek moyang/ kerabat disebut dayang, baureksa, atau sing ngemong. Dayang dipandang sebagai roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa, dari sinilah kemudian timbul upacara bersih desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun sesaji. Disisi lain atas dasar kepercayaan Islam bahwa orang yang meninggal perlu dikirimi do’a, maka muncul tradisi kirim dongo (do’a), tahlilan tujuh hari, 40 hari, setahun dan seribu hari.
    Sebagian besar orang Indonesia mengaku beragama islam, sikap keagamaan sehari-hari yang mereka hayati, dijiwai dalam batinnya oleh agama asli Indonesia yang kaya raya isinya, yang dipelihara dengan khusuk yang tidak mau dirombak oleh agama asing.
C. Respon Budaya Jawa Terhadap Islam
    Islam di jawa tidak lepas dari peranan walisongo. Walisongo  adalah tokoh-tokoh penyebar islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan  aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan islam pada pada masyarakat. Mereka secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Boning, Sunan Kalijaga, Sunan Drajad, Sunan Giri, Sunan Kudus sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Wali dalam bahasa inggris pada umumnya diartikan sain, sementara songo dalam bahasa jawa berarti sembilan. Diduga wali yang dimaksud lebih dari sembilan, tetapi agaknya bagi masyarakat jawa angka sembilan mempunyai makna tersendiri yang cukup istimewa. Para santri jawa berpandangan bahwa walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang.
    Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk. Orang jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin kerjasama dengan siapapun. Termasuk ketika pedagang dan alim ulama` yang bertubuh tinggi besar, hidung mancung dan berkulit putih kemerahan. Mereka adalah para pedagang dan ulama` dari tanah timur tengah. kedatangan mereka ternyata membawa sejarah baru yang hampir merubah jawa secara keseluruhan.
    Agama Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Malaka, Sumatra dan Kalimantan. Bukti berupa adanya nisan raja-raja Aceh yang beragama Islam menunjukkan bahwa Islam  telah barkembang di kesultanan Aceh pada abad ke13 M, jadi bisa diperkirakan mungkin Islam telah datang ke Indonesia sejak abad itu/bahkan sebelumnya.
    Agama tauhid ini telah berkembang di Jawa, kaum pedagang dan nelayan banyak terpikat oleh ajaran yang mengenalkan tuhan Allah SWT ini. Salah satu benda yang baru bagi orang jawa adalah nisan berukir kaligrafi seperti pada batu nisan di Leran, Gresik.pada batu nisan ini tertulis nama Fatimah binti Maimun wafat tahun 1082. Orang jawa sendiri pada zaman itu masih jarang memberi petanda batu nisan bagi orang ynag meninggal, apalagi yang mewah. Islam dijawa semakin meluas lagi seiring dengan para ulama` yang selalu giat menyebarkan agama Islam.
    Bagi orang jawa hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Hidup manusia sejak dari keberadaannya dari perut ibu, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, sampai saat kematiannya atau upacara-upacara dalam kegiatan sehari-hari dalam mencari nafkah. Secara luwes islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu, diantaranya kenduren atau selametan, mitoni, sunatan dll.
    Di Jawa penyebaran agama Islam harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana yang telah menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam animisme dan dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme, dari perjalanan sejarah pengalaman di jawa tampak bahwa islam sulit diterima dan menembus lingkungan budaya jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Namun ternyata islam diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.
D.Respon Islam terhadap budaya Jawa
    Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistic tertentu, yang dimaksud kegiatan ritualistic adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa wajib di bulan ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah. Intisari dari shalat adalah do’a oleh karena arti harfiah shalat juga do’a yang ditujukan kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.
    Sebagai institusi pendidikan, pesantren, adalah wujud kesinambungan budaya Hindu-Budha yang di islamkan secara damai. Lembaga GURU CULA juga ditemukan pada masa pra-Islam di Jawa. Lembaga ini pada saaat islam datang tidak dimusnahkan, melainkan dilestarikan dengan modifikasi substansi nuansa Islam.
Secara histiris, asal usul pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah  pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia.
    Islam adalah agama damai yang tidak mengenal sistem kasta seperti pada masa Hindu-Budha. Namun pada realitanya terdapat beberapa golongan yaitu golongan santri, abangan dan priyayi. Walaupun sebenarnya golongan ini tidaklah untuk membedakan status sosial seseorang, namun penggolongan ini ada berdasarkan pemahaman mana yang lebih baik diantara mereka tentang Islam yang dianut di Jawa dahulu dan sekarang atau tingkat kekuatan mereka menjalankan ibadah agama Islam. Sebenarnya penggunaan istilah abangan, santri, dan priyayi dalam klasifikasi masyarakat Jawa dalam golongan agama adalah tidak tepat, karena ke tiga golongan yang disebutkan tadi tidak bersumber pada sistem klasifikasi yang sama karena hanya abangan dan priyayi yang termasuk dalam penggolongan dalam ibadah agama islam, sedangkan santri adalah suatu penggolongan sosial.
    Sebagian besar orang Jawa memeluk agama Islam, namun terdapat beberapa ragam dalam pengalaman ajaran Islam. Mereka mengaku orang Islam tetap dalam kategori umum, pengakuan semacam itu mereka sendiri dengan jelas membedakan antara para santri yaitu para orang muslim yang taat menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh dan para abangan yang tidak seberapa mengindahkan ajaran-ajaran Islam, sementara cara hidupnya lebih dipengaruhi oleh tradisi jawa pra Islam.
    Sedangkan priyayi menurut Robert Van Niel, terjadi dair para administrator, para pegawai sipil serta orang Indonesia yang agak baik pendidikannya dan agak berada, termasuk orang Jawa, baik di kota maupun di desa. Sampai ukuran tertentu mereka memimpin, mempengaruhi, mengatur/membimbing masyarakat yang luas. Ia menyebut golongan ini elit. Adapun golongan priyayi mencakup para anggota dinas administratif yaitu birokrasi pemerintah serta para cendikiawan yang berpendidikan akademis. Mereka menempati kedudukan pemerintah mulai dari priyayi rendahan (seperti, juru tulis, guru sekolah, pegawai dll) sampai priyayi tinggi.
    ada pula klasifikasi masyarakat jawa yang didasarkan pada ukuran sampai dimana kebaktian agama islamnya/ukuran kepatuhan seseorang dalam mengamalkan syariat. Pertama terdapat santri, orang muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah agama Islam sebagaimana yang diketahuinya sambil berusaha membersihkan akidahnya dari syirik yang terdapat didaerahnya. Kedua, terdapatlah abangan yang secara harfiah berarti ”yang merah”, yang diturunkan dari pangkal keatas abang (merah). Istilah ini mengenai orang muslim Jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-perintah agama islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban- kewajiban agama. Cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi pra Islam Jawa.
    Jadi perbedaan antara santri dan abangan adalah diadakan bila orang digolongkan dengan mengarah kepada perilaku religiusnya, pengertian santri dan abangan dalam arti ini, dapat dianggap sebagai dua subkultur dengan pandangan dunia, nilai dan orientasi yang berbeda dalam kebudayaan jawa. 




BAB III
KESIMPULAN
    Dari makalah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Islam masuk di Jawa dengan cara damai yang diawali dari rakyat jelata hingga lambat laun masuk ke tingkat istana. Orang Jawa merespon dengan baik masuknya Islam ke Jawa. Karena Islam dengan mudah bersosialisasi dengan masyarakat Jawa. Orang-orang jawa terpikat dengan ajaran Islam yang mengenalkan ketauhidan/ keesaan Allah SWT. Islam bercampur dengan budaya Jawa karena Islam ditujukan untuk mempermudah penyebaran agamanya. Namun sampai saat ini budaya jawa masih melekat pada ajaran-ajaran islam yang masih sebagian besar dianut oleh orang jawa.
    Islam di Jawa juga mengenal beberapa penggolongan tingkat ketaatan orang jawa dalam menjalankan ajaran Islam. Mereka disebut golongan santri dan abangan. Santri adalah golongan yang sangat taat pada syariat, sedangkan abangan adalah golongan masyarakat yang tidak terlalu memperhatikan perintah-perintah agama.

PENUTUP
    Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun, sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.
Dan akhirnya, kami meminta maaf apabila terdapat banyak kesalahan baik dalam sistematika penulisan, isi dari pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri pada khususnya dan para pembaca sekalian yang budiman pada umumnya dalam mengarungi kehidupan ini. Amin.



DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Dudung. Sejarah peradaban islam: dari masa klasikhingga modern     Yogyakarta: 2002
A.S. Harahap, Sedjarah Penjiaran Agama Islam di Asia Tenggara, TB Islamiyah, Medan :     1951
Amin, M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta : 2002
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta     Pusat :1981
Hariwijaya, M, Islam Kejawen, Gelombang Pasang, Yogyakarta : 2006
Muchtarom Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Selemba diniyah,     Jakarta: 2002
Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H.,M.H., Yulkarnain Harahab, S.H., M.Si., Hukum Islam dan
    Perkembanganya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta: 2008
Ridin Sufwan, dkk, Merumuskan kembali Interrelasi Islam Jawa, Gama Media, Yogyakarta:     2004
Taufik Abdullah (ed.), Sejarah umat Islam Indonesia, MUI, Jakarta :1992




.








                                   SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MADSHAB MADSHAB
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
    Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan Rahmat, Taufiq, serta Hidayah Nya kepada kami sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. walaupun masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penyusun.
Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan keikhlasan membantu dalam proses penyelesaian makalah ini. Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Fatma Amilia, HJ.  selaku dosen mata kuliah Pengantar Hukum Islam.

                                Yogyakarta, 28 November 2011

                                Penyusun




DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar isi
Bab I Pendahuluan
1.    Latar Belakang
2.    Rumusan Masalah
3.    Tujuan Penulisan
Bab II Pembahasan
1.    Sejarah dan Perkembangan Madzhab-Madzhab
Bab III  kesimpulan dan Penutup
Daftar Pustaka





BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
   
    Dalam kehidupan ini perbedaan adalah suatu keniscayaan, demikian pula dalam kehidupan pemikiran hukum Islam atau Fiqh perbedaan merupakan hal biasa, karena fiqh adalah hasil ijtihad manusia yang tentu saja sangat relatif tergantung dari berbagai factor, antara lain factor mujtahidnyaatau siapa yang berijtihad, factor situasi dan kondisi yakni dalam situasi dan kondisi bagaimanakah waktu mujtahid itu beristinbat, bagaimana pemerintahan pada waktu itu, dan lain sebagainya.

    Perbedaan-perbedaan dalam hukum islam dapat dilihat terutama saat meluasnya agama islam ke berbagai Negara, hal itu bersamaan dengan banyaknya peristiwa baru yang muncul dalam kehidupan manusia. hal tersebut menyebabkan para alim ulama bertanya tentang hukum islam dan berusaha mencari dan menemukan hukum peristiwa tersebut melalui ijtihad.

    Perbedaan cara pandang dan metode penetapan hukum tersebut, akhirnya melahirkan aliran-aliran tertenu, yang kemudian dikenal dengan aliran Ahlul Hadits dan Ahlur Ra’yi, ada yang menyebut dengan istilah aliran Tradisionalisme dan Rasionalisme. berkembangnya kedua aliran ijtihad tersebut melahirkan madzab-madzab dalam fiqh yang memiliki corak metodologi dan produk hukum islam  atau fiqh tersendiri, serta masing –masing juga telah memiliki pengikut dari berbagai lapisan masyarakat.

2.    Rumusan Masalah

-    Sejarah dan Perkembangan Madzhab-Madzhab

3.    Tujuan Penulisan

-    Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan madzhab-madzhab



BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MADZHAB-MADZHAB

    perbedaan  pendapat tentang hukum-hukum islam baru terjadi setelah rasulullah wafat, sebagai akibat perlunya penerepan nas-nas hukum yang telah ada, berupa Al-Qura’an dan hadist, terhadap peristiwa-peristiwa baru yang timbul dan memerlukan penentuan hukumnya. Perbedaan pendapat tersebut adalah suatu hal yang wajar, karena keadaan mereka tidak sama tentang pengetahuan dan pemahaman terhadap nas-nas syari’at dan tujuan-tujuanyan, selain karena perbedaan tinjauan dan dasar-dasar pertimbangan dalam menganalisa sesuatu persoalan hukum.
    Karena adanya perbedaan pendapat tersebut, maka tiap-tiap pendapat di pertalikan kepada seseorang  yang mengeluarkanya supaya kedudukanya menjadi jelas dan bisa mempertanggung jawapkanya. Pendapat-pendapat tersebut di akui oleh mereka sebagai hasil pertimbangan (dugaan) kuat dan di anggap benar oleh yang mempunyainya, oleh karena itu pendapat tersebut hanya menjadi pegangan bagi dirinya sendiri, dengan tidak mengikat bagi orang lain, karena seseorang tidak di haruskan dengan berpegangan dengan dugaan(pengetahuan) orang lain. Oleh Karena  itu kaum muslimin pada waktu bisa memilih pendapat yang lebih di cocok. tanpa mendapat pengingkaran atau tunduhan telah di luar dari jalanya kaum muslimin.
    Sikap toleransi demikian dapat kita lihat dari sikap ‘umar r.a. ketika bertemu dengan dua orang yang menceritakan kepadanya tentang keputusan Ali r.a. mengenai  sengketa yang terjadi antara keduanya. Maka kata ‘umar r.a. : ”Kalau sengketa tersebut di bawa kepada saya ,tentu saya akan memmberi keputusan yang lain : “Maka kata kedua orang tersebut : ”Apa keberatan nya bagi tuan untuk memutuskan, sedang tuan adalah seorang Khalifah?”Maka jawab Umar r.a. : ”Kalau saya menolak keputusan tersebut untuk saya putuskan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, tentu akan saya perbuat, tetapi putusan saya akan di dasarkan kepada pendapat saya juga, sedang orang lain juga mempunyai pendapat”.
    Pada waktu ijtihad dan fatwa di lakukan sekedar di perlukan untuk memberikan tuntutan pada orang banyak, Dengan tidak sampai  memasuki persoalan-persoalan, khayalan dan di perkirakan semata-mata, dan dengan tidak ada maksud untuk mendirikan sesuatu aliran (mazhab) yang manjadi anutan orang banyak, melainkan dengan kesadaran untuk mentaati perintah agama dan menghindari dosa menyimpan ilmu. Tiap-tiap orang yang mengeluarkan tidak di pandang lebih dari lainya, melainkan masing-masingnya di anggap sebagai orang yang berhak  mengeluarkan pendapatnya, atau dengan perkataan lain tiap-tiap orang bisa mempunyai aliran(madzhab).
    Selama abad ke Dua dan Tiga Hijriyah, kita dapati deretan nama-nama para mujtahidin yang mempunyai pendapat dan aliran, dari kalangan sahabat atau tabi’in, dan tersebar di berbagai Negara islam. Akan tetapi keadaan mereka tidak sama, sebab di antara mereka ada mujtahidin-mujtahidin yang mempunyai kesempatan, bakat, hobbi yang memungkinkan mereka mengabdikan hidupnya untuk memberikan pelajaran hukum-hukum islam dan menghadapi murid-muridnya. Dengan demikian maka mujtahidin banyak pengikutnya, tersebar pendapat dan fatwa-fatwanya, dan tenar namanya.Kemudian murid-muridnya membukukan pendapat dan fatwa-fatwa tersebut untuk d wariskan kepada angkatan-angkatan berikutnya. Dengan Usaha demikian, maka pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa tersebut mempunyai corak tersendiri dan pendukung-pendukungnya yang tertentu, untuk kemudian menjadi mazhab yang berdiri sendiri. Pengamanan terhadap mazhab tersebut di lakukan dengan usaha mempelajari dan mendalaminya, di bela di menangkan atas mazhab-mazhab lain, sehingga pada umumnya menimbulkan kefanatikan dan kependirian bahwa hanya mazhab yang di anut nya itu saja yang benar.
    Jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat para sahabat dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash. Adapun dasar  dijadikanya pendapat sahabat sebagai hujjah sesudah dalil dalil nash adalah :
 •     •   
      •         
  

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”(QS. at-Taubah : 100)
    Dalam ayat diatas Alloh memuji orang-orang yang mengikuti para sahabat. sebagai konsekuensi logis dari pujianalooh tersebut, berarti umat islam diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka dan karena itu fatwa-fatwa mereka dapat dijadikan hujjah. (Sumber hukum islam dan Perkembanganya di Indonesia Hal 166)
        Para sahabat adalah orang-orang yang lebih dekat dengan Rosuullah saw dibandigkanorang lain. Dengan demikian mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunya Al-Quran, mempunyai keiklasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada peunjuk-petunjuk islam<serta mengetahui situasi tatkala nash-nash Al-Quran diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih banyak diikuti.
    pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para sahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah islam dengan alasa mereka sering menyebutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rosulullah  Saw tanpa menyebabkan hal itu datang dari islam, karena tidak ditanya sumbernya.
     Dalam sejarah pengkajian hukum islam,dikenal beberapa madzhab terdapat dua kelompok besar yakni Madzhab sunni dan madzhab Syi’i.
    Dalam madzab Sunni sendiri dikenal berbagai madzhab, antara lain : Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, hambali, auza’i, Laitsi, Tsauri, dan Dzahiri.
Meskipun mazhab-mazhab tersebut banyak jumlahnya, namun nasibnya tidak sama. ada yang tidak berkembang, dan ada pula yang masih eksis.
adapun yang masih eksis adalah : Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali.
Sedangkan yang tidak berkembang lagi adalah : madzhab Auza’I, Laitsi, Tsauri, dan Dzahiri.
    Adapun mazhab-mazhab yang di anut oleh kebanyakan Negeri islam Adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
    Dalam Madzhab Syi’I  dikenal berbaga Madzhab atu aliran syi’I, antara lain : Aliran Asyariyah, Zaidiyah, ismailiyah, Kisaniyah, Fathahiyah, Waqiyah dan Nawusiyah. Dalam Madzhab syi’I juga bisa digolongkan antara madzhab yang tidak berkembang dan madzhab yang masih Eksis, diantara madzhab atau aliran yang masih eksis adalah tiga aliran pertama, sedangkan empat aliran terahir adalah aliran yang tidak berkembang lagi atau tidak eksis. Sementara dilihat dari sisi Fiqh, bisa dikelompokkan kedalam dua kelompok besar yakni : madzhab Zaidi dan Ja’fari.
    Perbedaan syi’I dan Sunni
    Sebenarnya perbedaan antara madzhab syi’I dan Sunni itu merupakan hal biasa sama seperti perbedaan masing masing imam  madzhab sunni. Perbedaan yang ada lebih banyak dipengaruhi oleh aspek teologi dan politik.
Perbedaan :
a.    Sunni
-    Menerima semua hadits tidak melihat dan membatasi periwayatan hanya dari    ahlul bait saja.
-    tidak dikenal prinsip kema’suman Imam

b.    Syi’i
-    Ada yang membatasi bahwa hadits yang bisa diterima adalah hadits yang diriwayatkan oleh ahlul bait saja.
-    kema’suman itu melahirkan kompetensi pemahaman atas nash al-Quran yang tidak bisa dijangkau oleh para ulama lain. (Ibid, hlm.159)
    Bagi madzhab-madzhab yang bertahan hidup ,maka sebenarnya bukan segi hukum-hukum yang menjadi faktor ketahanannya, seperti penetapan sumber-sumber hukum atau pendapay-pendapatnya yang meringankan, sebab hal-hal seperti ini hampir di miliki oleh semua mazhab. Segi ketahanan tersebut terletak pada Hal-hal yang bukan bersifat madzhab sama sekali, seperti pribadi pendiri mazhab dan kejelasan keteranganya,sehingga dapat menarik orang banyak, adanya murid-murid yang pandai dan membukukan pendapatnya,serta bantuan langsung atau tidak  langsung dari penguasa pemerintahan terhadap mazhab tertentu.
   
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

A. Kesimpulan

    perbedaan adalah suatu keniscayaan, demikian pula dalam kehidupan pemikiran hukum Islam atau Fiqh perbedaan merupakan hal biasa, karena fiqh adalah hasil ijtihad manusia yang tentu saja sangat relatif tergantung dari berbagai factor, antara lain factor mujtahidnyaatau siapa yang berijtihad, factor situasi dan kondisi yakni dalam situasi dan kondisi bagaimanakah waktu mujtahid itu beristinbat, bagaimana pemerintahan pada waktu itu, dan lain sebagainya.
    Dan dari berbagai Madzhab-madzhab Sunni dan Syi’I terdapat madzhab yang masih eksis dan tidak eksis.



B. Penutup


    Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun, sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.
    Dan akhirnya, kami meminta maaf apabila terdapat banyak kesalahan baik dalam         sistematika penulisan, isi dari pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi.     Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri pada khususnya dan     para pembaca sekalian yang budiman pada umumnya dalam mengarungi kehidupan     ini. Amin.





DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H, Yulkarnaim Harahab, S.H., MSi., 2008, Hukum Islam
     dan Perkembanganya di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media.
Drs. Muhammad Yusuf, M.Si., Okrizal Eka Putra, Lc., M.A., Fatma Amilia S.Ag., M.si., 2005,
    Fiqh dan Ushul Fiqh, Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Hanafi, Ahmad, MA., 1995, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang.
Hasan, Ali, M, 2002, Perbandingan Madzhab, Jakarta : PT Rajawali Pers.